Aku keluar dari ruangan dokter dengan
langkah kaki bergetar. Langkahku terasa hampa. Aku tidak memperhatikan
sekitarku, hingga sesekali aku menabrak orang yang lalu lalang di rumah sakit.
Leherku terasa tercekik ketika dokter mengatakan,
“Karin,
kau terkena AIDS”
Andai saja waktu itu aku tidak melakukan
apa yang dikatakan oleh temanku Aldo dan tidak mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh teman-temanku yang lain.
Andai saja waktu itu aku mendengarkan apa
yang dikatakan oleh ibuku.
Sesaat aku teringat kembali apa yang
dikatakan dokter padaku.
^___^
“Karin,
sebenarnya apa yang telah kau lakukan?”
Sebelum
aku menjawab yang ditanyakan dokter padaku, aku balik bertanya kepada dokter.
“Apa yang terjadi padaku, dok?”
Dokter
menghela napas “Karin, kau terkena AIDS”
“APA”
teriakku, “tidak mungkin, aku tidak mungkin terkena AIDS, dokter pasti salah”
“Akupun
berharap kalau aku salah, tapi aku telah mengeceknya berulang kali, semuanya
positif”
Sejenak dokter berhenti berbicara karena
melihatku begitu shock sehingga aku terlihat gugup dan kebingungan.
Akupun menunduk.
Lalu dokter bertanya kembali, “kau
melakukan seks bebas?”
Perkataan
dokter terdengar olehku, tapi tidak masuk ke otakku..
“Apa?” tanyaku memelas.
“Apa
kau melakukan hubungan badan dengan penderita AIDS yang lain?”
“tidak……
bukan itu, aku tidak pernah melakukan hal itu”
“Lalu
apa penyebabnya?” dokter bertanya kembali padaku, tapi sebelum aku menjawabnya
dokter berkata lebih dulu, “DRUGS??”
Aku
kembali menatap ke arah dokter dan melihat matanya, “yah, aku menggunakannya,,
drugs, aku menggunakan narkoba dan semua obat terlarang lainnya, jarum suntik,
semuanya. Aku pemakai” jawabku dengan pikiran kosong.
“sejak
kapan kau menggunakannya?”
“dua
tahun yang lalu, ketika semua yang aku miliki pergi menjauh dariku. Saat
hidupku hancur, aku mulai mendekati obat-obatan itu”
“Apa
kau tidak sadar?? Justru dengan menggunakan narkoba hidupmu akan lebih hancur”
“aku
tahu!! Tapi pada saat itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak
tau apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan uang, dan membahagiakan
ibuku..”
“membahagiakan ibumu?! Apa dengan cara ini
ibumu akan bahagia..”
“tidak.. ibuku tidak tau apa yang aku
lakukan, jika ibu tau.... dengan sekejap semuanya akan berakhir, dan hanya
penyesalan yang akan aku dapatkan”
Dokter
menghela napas, “apa yang sebenarnya terjadi??”
^___^
Aku menceritakan semua hal yang terjadi
padaku kepada dokter.
“dua tahun lalu, ketika aku sedang
berjalan-jalan bersama temanku di sebuah mall, tiba-tiba aku melihat Vino,
pacarku. Dia menggandeng gadis lain. Dengan bersikap tenang dan menahan rasa
curiga, aku menghampiri Vino dan betkata,
“Hai vino…… sedang apa disini?” tanyaku.
Vino terlihat kaget ketika melihatku,
“KARIN?!?!”
“kenapa kaget? Seperti melihat hantu
saja.” Lalu aku melirik ke arah gadis yang berada disamping Vino, “siapa dia?”
Belum juga Vino menjawab, gadis itu
berkata sambil tangannya menggenggam erat tangan Vino,
“sayang,
dia teman kuliahmu??”
SAYANG. Setelah mendengar kata itu tiba-tiba banyak pertanyaan dibenakku. Siapa gadis ini? Apa dia temannya atau adiknya atau saudaranya ataukah ……………? Tapi kenapa dia memanggil sayang?. Hatiku terasa terbakar. Rasa cemburu menyerang hatiku apalagi ketika Vino berkata,
SAYANG. Setelah mendengar kata itu tiba-tiba banyak pertanyaan dibenakku. Siapa gadis ini? Apa dia temannya atau adiknya atau saudaranya ataukah ……………? Tapi kenapa dia memanggil sayang?. Hatiku terasa terbakar. Rasa cemburu menyerang hatiku apalagi ketika Vino berkata,
“yah,
dia memang temanku”
Langit terasa runtuh mengenai kepalaku. Kenapa
Vino berkata begitu? Padahal Vino adalah pacarku. Kami sudah menjalani hubungan
ini sejak kami masih duduk di bangku SMA. Lalu kenapa Vino berkata begitu,
seperti itu? Mengapa ………… mengapa …………
Tidak lama kemudian Vino membawaku
menjauh dari keramaian orang. Di tempat itu kami berdua bertengkar hebat. Vino
berkata kalau aku ini adalah gadis yang membosankan. Aku kekanak-kanakkan. Aku
egois. Ingin menang sendiri. Sehingga akhirnya Vino mengatakan,
“KITA
PUTUS”
Tanpa berpikir panjang lagi Vino membalikkan
badannya dan pergi meninggalkanku sendiri. Aku melihat punggungnya
perlahan-lahan menjauh dariku hingga akhirnya menghilang di kerumunan orang
banyak.
^___^
Sore itu, air dari langit berjatuhan
secara perlahan ke bumi. Aku berjalan menuju rumah ketika hujan sedikit demi
sedikit membasahi tubuhku. Selama perjalanan pulang aku terus berpikir, kenapa
Vino bisa melakukan hal itu terhadapku? Kenapa juga dia berkata kalau aku ini
membosankan, kekanak-kanakkan, egois, ingin menang sendiri? Padahal selama aku
bersamanya aku lah yang selalu membuatnya tertawa, saat dia jatuh dalam
hidupnya, aku lah yang dapat mengangkatnya lagi. Dan aku pula lah yang selalu
mengalah padanya. Pada saat itu, semua kata “KENAPA” menumpuk dibenakku.
Ketika aku terus memikirkan Vino,
tidak terasa langkah kakiku telah membawaku sampai di depan rumah. Ketika itu
aku tersadar ternyata banyak orang yang mngerumuni rumahku. Aku bertanya dalam
hatiku,
“ada
apa ini?”
Aku berjalan perlahan-lahan. Ketika melewati
orang-orang yang berkeremun dirumahku, semua orang mengatakan hal yang sama
padaku,
“bersabarlah”
Aku
tidak mengerti apa yang dikatakan oleh mereka, dan ketika aku melihat ada
seseorang yang terbaring di ruang tengah rumahku. Seseorang yang dibalut dengan
kain kafan dan ditutupi dengan samping. Disebelah kanannya, aku melihat seorang
wanita sedang menangis, yang terlihat sangat terpukul. Lalu wanita itu
berteriak ketika melihat ku,
“Karin……… Karin……… ayah mu!!!! Ayahmu meninggal...”
Aku tersadar. Wanita yang sedang berteriak
padaku itu adalah Ibuku dan seseorang yang terbaring di ruang tengah itu adalah
Ayahku. Sesaat aku merasa hidupku sudah berakhir. Vino orang yang sangat aku
cintai dan aku sayangi mengkhianatiku dan pergi meninggalkan ku. Dan orang yang
sangat aku hormati, hargai, sayangi, cintai dan yang sangat aku banggakan itu,
kini dia telah pergi selamanya dari hidupku.
Diluar
hujan turun semakin deras, menandakan alampun ikut menangis. Menangisi yang
terjadi pada diriku.
^___^
Esok hari, saat matahari mulai
menampakkan dirinya. Iring-iringan kematian bergerombol menuju pemakaman. Aku
dan ibuku tak kuasa melihat jasad ayahku dimasukkan ke dalam liang lahat. Tidak
lama kemudian semua proses pemakaman telah dilaksanakan. Satu per satu orang
yang ikut ke pemakaman semakin lama semakin berkurang dan kami pun pergi
meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ayahku.
Ketika sesampainya dirumah, belum
juga kami masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada sekelompok orang yang menunggu di
depan pintu, lalu ibuku berkata,
“Siapa
ya? Kenapa berdiri disitu? Kamikan jadi tidak bisa lewat”
Salah seorang dari mereka berkata,
“maaf nyonya, hari ini juga Anda harus mengosongkan rumah ini”
“Apa? Kenapa? Kenapa kami harus
mengosongkan rumah ini” tanyaku sedikit membentak.
“Tuan Randy Nugroho telah meminjam
uang kepada Bank kami sebesar Rp 250.000.000,00 beliau belum membayarnya hingga
jatuh tempo dan jaminannya adalah rumah ini”
Aku dan ibuku sama sekali tidak
berdaya dan kami hanya bisa pasrah melihat mereka menyita rumah kami. Ayahku meminjam
uang dari Bank untuk membayar hutang kepada rentenir. Setelah ayahku dipecat
dari pekerjaannya ayah memang selalu meminjam uang pada rentenir dan akhirnya ayahku
terpaksa meminjam uang kepada Bank dalam jumlah besar untuk melunasi hutang
pada rentenir dan rumah kami yang menjadi jaminannya. Ketika itu aku tidak tahu
ayah mendapatkan uang dari mana, rencananya ayah akan membayar hutangnya pada
bank, tetapi ayah mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal, dan uang itu
sekarang entah berada dimana. Pada saat ayah mengalami kecelakaan, polisi tidak
melihat uang yang ayahku bawa, mungkin uang itu sudah diambil orang. Aku hanya
bisa menerima kejadian ini, karena ini sudah takdir. Takdir yang sangat menyakitkan.
^___^
Siang itu, matahari begtu terik
terasa membakar kulitku. Aku dan ibuku berjalan perlahan meninggalkan rumah
yang telah dibangun oleh ayahku sendiri. Kami berdua tidak tahu harus kemana,
kami tidak punya tempat tinggal, disini kami tidak punya sanak saudara.
Malam
telah tiba, aku dan ibu bingung harus bagaimana, kami tidak punya tempat
tinggal, dan kamipun tidak punya uang sepeser pun untuk menginap. Dengan
terpaksa, kami tidur dijalan layaknya gelandangan. Sehingga aku merasa putus
asa. Aku tidak tega melihat ibuku. Hingga akhirnya aku terjatuh ke dalam
jurang. Temanku Aldo menawarkan barang haram itu kepadaku.
“Karin cobalah ini, kalau kau
mencobanya kau akan merasa ada di surga”
“aku tidak mau, itu tidak akan
membuat ku ada di surga”
Awalnya aku tak mau, tapi ketika
Aldo berkata, “Karin, dengarkan aku jika kau mencoba barang ini dan berhasil
menjualnya kau akan mendapatkan untung yang sangat besar, dan kau tidak akan
tinggal di pinggir jalan lagi, kau bisa membawa ibumu tinggal dirumah yang
besar..”
“aku tidak mau memasukkan hal yang
haram ke dalam tubuhku dan melakukan perbuatan haram. Aku ………”
“Karin, kau harus mengingat ibumu.
Bukankah dia itu setiap hari kedinginan karena tidur di jalan dia juga makan
bekas orang lain kan? Kau tidak kasihan melihat ibumu?”
Aku termakan oleh kata-kata Aldo. Aku
mulai mencoba menggunakan narkoba, menjadi pemakai, dan akupun mulai menjadi
pengedar. Setelah aku menjadi pemakai sekaligus pengedar hidupku berubah.
Hidupku menjadi serba enak. Rumah yang kami tempati sangat besar, ditambah
pembantu yang banyak. Ibuku sama sekali tidak tahu dari mana aku mendapat uang.
Ibuku sering menanyakan apa pekerjaanku, tapi aku sering menipunya dengan
bantuan dari Aldo. Ibuku pun mempercayai kata-kataku. Dan sekarang walaupun aku
hidup enak, aku merasa kalau aku sudah melakukan kesalahan yang besar. Kesalahan
yang sangat besar.”
Dokter yang mendengar ceritaku menghela
napas, “kau memang melakukan kesalahan yang besar..”
Aku mengangguk, “Aku kasihan pada ibuku. Bagaimana
jika ibuku tahu bahwa....... setiap hari kami makan dari pekerjaan yang haram,
hidup enak dari hasil keringat yang haram. Bagaimana jika ibuku tau,, kalau aku
terkena aids...”
“kau adalah orang terbodoh yang pernah aku
temui”
Air
mataku menetes, “aku memang bodoh... sangat bodoh..”
“kau
tahu, karena hal ini kau tidak bisa hidup lama. Kau tidak memeriksakan
penyakitmu dengan segera. Penyakitmu sudah menggerogoti tubuhmu. Umurmu tidak
akan lama lagi....”
“APA”
^___^
Saat
aku keluar dari rumah sakit, hujan begitu deras. Kembali aku merasa kalau
alampun ikut menangis. Dengan apa yang aku lakukan, mau tidak mau aku harus
menerima resikonya. Aku akan mati, sebentar lagi aku akan mati. Aku calon
mayat.
Andai saja waktu itu........ Vino tidak
memutuskan hubungan kami. Andai saja waktu itu........ ayah tidak mengalami
kecelakaan, andai saja waktu itu......... aku tidak mengikuti perkataan Aldo.
Andai saja waktu itu..................... pasti sekarang aku akan hidup bahagia,
tak ada drugs, tak ada aids dan tak ada kematian. Andai saja ………………………… andai
saja …………………………………… Ibu maafkan aku, kini aku hanya menunggu waktu, untukku
menutup mata.
Dini Oktafiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar