Senin, 23 Januari 2012

ANDAI WAKTU ITU…………



Aku keluar dari ruangan dokter dengan langkah kaki bergetar. Langkahku terasa hampa. Aku tidak memperhatikan sekitarku, hingga sesekali aku menabrak orang yang lalu lalang di rumah sakit. Leherku terasa tercekik ketika dokter mengatakan,
            “Karin, kau terkena AIDS”
Andai saja waktu itu aku tidak melakukan apa yang dikatakan oleh temanku Aldo dan tidak mengikuti apa yang telah dilakukan oleh teman-temanku yang lain.
Andai saja waktu itu aku mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibuku.
Sesaat aku teringat kembali apa yang dikatakan dokter padaku.
^___^

            “Karin, sebenarnya apa yang telah kau lakukan?”
            Sebelum aku menjawab yang ditanyakan dokter padaku, aku balik bertanya kepada dokter.
“Apa yang terjadi padaku, dok?”
            Dokter menghela napas “Karin, kau terkena AIDS”
            “APA” teriakku, “tidak mungkin, aku tidak mungkin terkena AIDS, dokter pasti salah”
            “Akupun berharap kalau aku salah, tapi aku telah mengeceknya berulang kali, semuanya positif”
Sejenak dokter berhenti berbicara karena melihatku begitu shock sehingga aku terlihat gugup dan kebingungan.
Akupun menunduk.
Lalu dokter bertanya kembali, “kau melakukan seks bebas?”
            Perkataan dokter terdengar olehku, tapi tidak masuk ke otakku..
“Apa?” tanyaku memelas.
            “Apa kau melakukan hubungan badan dengan penderita AIDS yang lain?”
            “tidak…… bukan itu, aku tidak pernah melakukan hal itu”
            “Lalu apa penyebabnya?” dokter bertanya kembali padaku, tapi sebelum aku menjawabnya dokter berkata lebih dulu, “DRUGS??”
            Aku kembali menatap ke arah dokter dan melihat matanya, “yah, aku menggunakannya,, drugs, aku menggunakan narkoba dan semua obat terlarang lainnya, jarum suntik, semuanya. Aku pemakai” jawabku dengan pikiran kosong.
            “sejak kapan kau menggunakannya?”
            “dua tahun yang lalu, ketika semua yang aku miliki pergi menjauh dariku. Saat hidupku hancur, aku mulai mendekati obat-obatan itu”
            “Apa kau tidak sadar?? Justru dengan menggunakan narkoba hidupmu akan lebih hancur”
            “aku tahu!! Tapi pada saat itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan uang, dan membahagiakan ibuku..”
“membahagiakan ibumu?! Apa dengan cara ini ibumu akan bahagia..”
“tidak.. ibuku tidak tau apa yang aku lakukan, jika ibu tau.... dengan sekejap semuanya akan berakhir, dan hanya penyesalan yang akan aku dapatkan”
            Dokter menghela napas, “apa yang sebenarnya terjadi??”
^___^
           
Aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku kepada dokter.
            “dua tahun lalu, ketika aku sedang berjalan-jalan bersama temanku di sebuah mall, tiba-tiba aku melihat Vino, pacarku. Dia menggandeng gadis lain. Dengan bersikap tenang dan menahan rasa curiga, aku menghampiri Vino dan betkata,
 “Hai vino…… sedang apa disini?” tanyaku.
            Vino terlihat kaget ketika melihatku, “KARIN?!?!”
            “kenapa kaget? Seperti melihat hantu saja.” Lalu aku melirik ke arah gadis yang berada disamping Vino, “siapa dia?”
            Belum juga Vino menjawab, gadis itu berkata sambil tangannya menggenggam erat tangan Vino,
“sayang, dia teman kuliahmu??”
            SAYANG. Setelah mendengar kata itu tiba-tiba banyak pertanyaan dibenakku. Siapa gadis ini? Apa dia temannya atau adiknya atau saudaranya ataukah ……………? Tapi kenapa dia memanggil sayang?. Hatiku terasa terbakar. Rasa cemburu menyerang hatiku apalagi ketika Vino berkata,
“yah, dia memang temanku”
 Langit terasa runtuh mengenai kepalaku. Kenapa Vino berkata begitu? Padahal Vino adalah pacarku. Kami sudah menjalani hubungan ini sejak kami masih duduk di bangku SMA. Lalu kenapa Vino berkata begitu, seperti itu? Mengapa ………… mengapa …………
            Tidak lama kemudian Vino membawaku menjauh dari keramaian orang. Di tempat itu kami berdua bertengkar hebat. Vino berkata kalau aku ini adalah gadis yang membosankan. Aku kekanak-kanakkan. Aku egois. Ingin menang sendiri. Sehingga akhirnya Vino mengatakan,
“KITA PUTUS”
 Tanpa berpikir panjang lagi Vino membalikkan badannya dan pergi meninggalkanku sendiri. Aku melihat punggungnya perlahan-lahan menjauh dariku hingga akhirnya menghilang di kerumunan orang banyak.
^___^

            Sore itu, air dari langit berjatuhan secara perlahan ke bumi. Aku berjalan menuju rumah ketika hujan sedikit demi sedikit membasahi tubuhku. Selama perjalanan pulang aku terus berpikir, kenapa Vino bisa melakukan hal itu terhadapku? Kenapa juga dia berkata kalau aku ini membosankan, kekanak-kanakkan, egois, ingin menang sendiri? Padahal selama aku bersamanya aku lah yang selalu membuatnya tertawa, saat dia jatuh dalam hidupnya, aku lah yang dapat mengangkatnya lagi. Dan aku pula lah yang selalu mengalah padanya. Pada saat itu, semua kata “KENAPA” menumpuk dibenakku.
            Ketika aku terus memikirkan Vino, tidak terasa langkah kakiku telah membawaku sampai di depan rumah. Ketika itu aku tersadar ternyata banyak orang yang mngerumuni rumahku. Aku bertanya dalam hatiku,
“ada apa ini?”
 Aku berjalan perlahan-lahan. Ketika melewati orang-orang yang berkeremun dirumahku, semua orang mengatakan hal yang sama padaku,
“bersabarlah”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh mereka, dan ketika aku melihat ada seseorang yang terbaring di ruang tengah rumahku. Seseorang yang dibalut dengan kain kafan dan ditutupi dengan samping. Disebelah kanannya, aku melihat seorang wanita sedang menangis, yang terlihat sangat terpukul. Lalu wanita itu berteriak ketika melihat ku,
 “Karin……… Karin……… ayah mu!!!! Ayahmu meninggal...”
            Aku tersadar. Wanita yang sedang berteriak padaku itu adalah Ibuku dan seseorang yang terbaring di ruang tengah itu adalah Ayahku. Sesaat aku merasa hidupku sudah berakhir. Vino orang yang sangat aku cintai dan aku sayangi mengkhianatiku dan pergi meninggalkan ku. Dan orang yang sangat aku hormati, hargai, sayangi, cintai dan yang sangat aku banggakan itu, kini dia telah pergi selamanya dari hidupku.
Diluar hujan turun semakin deras, menandakan alampun ikut menangis. Menangisi yang terjadi pada diriku.
^___^

            Esok hari, saat matahari mulai menampakkan dirinya. Iring-iringan kematian bergerombol menuju pemakaman. Aku dan ibuku tak kuasa melihat jasad ayahku dimasukkan ke dalam liang lahat. Tidak lama kemudian semua proses pemakaman telah dilaksanakan. Satu per satu orang yang ikut ke pemakaman semakin lama semakin berkurang dan kami pun pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ayahku.
            Ketika sesampainya dirumah, belum juga kami masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada sekelompok orang yang menunggu di depan pintu, lalu ibuku berkata,
“Siapa ya? Kenapa berdiri disitu? Kamikan jadi tidak bisa lewat”
            Salah seorang dari mereka berkata, “maaf nyonya, hari ini juga Anda harus mengosongkan rumah ini”
            “Apa? Kenapa? Kenapa kami harus mengosongkan rumah ini” tanyaku sedikit membentak.
            “Tuan Randy Nugroho telah meminjam uang kepada Bank kami sebesar Rp 250.000.000,00 beliau belum membayarnya hingga jatuh tempo dan jaminannya adalah rumah ini”
            Aku dan ibuku sama sekali tidak berdaya dan kami hanya bisa pasrah melihat mereka menyita rumah kami. Ayahku meminjam uang dari Bank untuk membayar hutang kepada rentenir. Setelah ayahku dipecat dari pekerjaannya ayah memang selalu meminjam uang pada rentenir dan akhirnya ayahku terpaksa meminjam uang kepada Bank dalam jumlah besar untuk melunasi hutang pada rentenir dan rumah kami yang menjadi jaminannya. Ketika itu aku tidak tahu ayah mendapatkan uang dari mana, rencananya ayah akan membayar hutangnya pada bank, tetapi ayah mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal, dan uang itu sekarang entah berada dimana. Pada saat ayah mengalami kecelakaan, polisi tidak melihat uang yang ayahku bawa, mungkin uang itu sudah diambil orang. Aku hanya bisa menerima kejadian ini, karena ini sudah takdir. Takdir yang sangat menyakitkan.
^___^

            Siang itu, matahari begtu terik terasa membakar kulitku. Aku dan ibuku berjalan perlahan meninggalkan rumah yang telah dibangun oleh ayahku sendiri. Kami berdua tidak tahu harus kemana, kami tidak punya tempat tinggal, disini kami tidak punya sanak saudara.
Malam telah tiba, aku dan ibu bingung harus bagaimana, kami tidak punya tempat tinggal, dan kamipun tidak punya uang sepeser pun untuk menginap. Dengan terpaksa, kami tidur dijalan layaknya gelandangan. Sehingga aku merasa putus asa. Aku tidak tega melihat ibuku. Hingga akhirnya aku terjatuh ke dalam jurang. Temanku Aldo menawarkan barang haram itu kepadaku.
            “Karin cobalah ini, kalau kau mencobanya kau akan merasa ada di surga”
            “aku tidak mau, itu tidak akan membuat ku ada di surga”
            Awalnya aku tak mau, tapi ketika Aldo berkata, “Karin, dengarkan aku jika kau mencoba barang ini dan berhasil menjualnya kau akan mendapatkan untung yang sangat besar, dan kau tidak akan tinggal di pinggir jalan lagi, kau bisa membawa ibumu tinggal dirumah yang besar..”
            “aku tidak mau memasukkan hal yang haram ke dalam tubuhku dan melakukan perbuatan haram. Aku ………”
            “Karin, kau harus mengingat ibumu. Bukankah dia itu setiap hari kedinginan karena tidur di jalan dia juga makan bekas orang lain kan? Kau tidak kasihan melihat ibumu?”
            Aku termakan oleh kata-kata Aldo. Aku mulai mencoba menggunakan narkoba, menjadi pemakai, dan akupun mulai menjadi pengedar. Setelah aku menjadi pemakai sekaligus pengedar hidupku berubah. Hidupku menjadi serba enak. Rumah yang kami tempati sangat besar, ditambah pembantu yang banyak. Ibuku sama sekali tidak tahu dari mana aku mendapat uang. Ibuku sering menanyakan apa pekerjaanku, tapi aku sering menipunya dengan bantuan dari Aldo. Ibuku pun mempercayai kata-kataku. Dan sekarang walaupun aku hidup enak, aku merasa kalau aku sudah melakukan kesalahan yang besar. Kesalahan yang sangat besar.”
Dokter yang mendengar ceritaku menghela napas, “kau memang melakukan kesalahan yang besar..”
Aku mengangguk, “Aku kasihan pada ibuku. Bagaimana jika ibuku tahu bahwa....... setiap hari kami makan dari pekerjaan yang haram, hidup enak dari hasil keringat yang haram. Bagaimana jika ibuku tau,, kalau aku terkena aids...”
             “kau adalah orang terbodoh yang pernah aku temui”
            Air mataku menetes, “aku memang bodoh... sangat bodoh..”
            “kau tahu, karena hal ini kau tidak bisa hidup lama. Kau tidak memeriksakan penyakitmu dengan segera. Penyakitmu sudah menggerogoti tubuhmu. Umurmu tidak akan lama lagi....”
            “APA”
^___^

            Saat aku keluar dari rumah sakit, hujan begitu deras. Kembali aku merasa kalau alampun ikut menangis. Dengan apa yang aku lakukan, mau tidak mau aku harus menerima resikonya. Aku akan mati, sebentar lagi aku akan mati. Aku calon mayat.
Andai saja waktu itu........ Vino tidak memutuskan hubungan kami. Andai saja waktu itu........ ayah tidak mengalami kecelakaan, andai saja waktu itu......... aku tidak mengikuti perkataan Aldo. Andai saja waktu itu..................... pasti sekarang aku akan hidup bahagia, tak ada drugs, tak ada aids dan tak ada kematian. Andai saja ………………………… andai saja …………………………………… Ibu maafkan aku, kini aku hanya menunggu waktu, untukku menutup mata.


Dini Oktafiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar